Legenda Dewa Harem

Chapter 420: Sampai Maut Memisahkan Kita



"Mundur!"

Tom dengan keras menyuruh semua mundur, sisa dari para anggota Black Mamba pun mundur bersamaan. Untuk rekan-rekan mereka yang mati ataupun pingsan, mereka membuangnya tanpa rasa peduli.

Para pembunuh bayaran memang seperti itu, kematian merupakan resiko dari pekerjaan mereka. Lagipula, mereka tidak bisa membawa mereka dengan keadaan seperti ini. Namun, keenam anggota yang masih hidup ini membuat sumpah di dalam hati mereka bahwa mereka akan membalaskan dendam ini.

Anna dan Tom kabur bersama dengan para anggota Black Mamba. Dengan adanya tabir asap dari granat asap, mereka menghilang dengan cepat.

Randika hanya berdiri di tempatnya tanpa ekspresi.

Boneka ginseng langsung pura-pura mengejar mereka dan bertindak seolah mengusir penjahat.

"Randika." Inggrid menjadi tenang kembali, sedangkan Maria langsung berlutut lemas karena merasa senang bahaya telah berakhir.

Kali ini, hidup mereka telah diselamatkan oleh Randika.

Ketika kedua perempuan ini bersuka cita, mereka melihat bahwa Randika hanya berdiri diam di tempatnya.

"Ran, ada apa?"

Inggrid sedikit khawatir, namun ketika dia menghampiri Randika, mata dan hidungnya mengeluarkan darah!

Pada saat ini, Randika roboh ke belakang!

"Randika!!" Inggrid hanya bisa menjerit ketakutan.

...

"LARI!!"

"Indra, lari!"

"TIDAAKKKK!"

Dalam keadaan terkejut, Randika berteriak keras ketika dia terbangun dari tidurnya. Melihat dirinya tidur di atas kasur, dia tidak tahu di mana dirinya berada.

Setelah melihat sekelilingnya, dia tidak menemukan sesuatu yang spesifik yang bisa dijadikan petunjuk. Yang dia ketahui adalah seseorang telah membalut tubuhnya yang terluka itu dengan perban.

Tidak tahu siapa yang merawatnya, tetapi Randika yakin bahwa orang itu tidak jahat. Oleh karena itu, Randika memilih untuk tiduran kembali dan menenangkan dirinya.

Mimpi yang dia alami benar-benar seperti nyata. Dia melihat Indra ditebas menjadi dua oleh Bulan Kegelapan. Yang membuatnya benar-benar marah adalah dia tidak sempat melindungi Indra baik di dalam mimpi ataupun dunia nyata. Dia hanya berharap bahwa semua itu adalah mimpi dan Indra masih baik-baik saja di luar sana.

Ketika dia masih melamun, terdengar suara langkah kaki.

Ketika Inggrid masuk ke dalam, dia langsung memeluk Randika yang sudah terbangun.

"Akhirnya kamu bangun! Bagaimana perasaanmu? Apakah baik-baik saja?"

"Tenang saja, aku baik-baik saja kok." Kata Randika sambil tersenyum.

"Syukurlah kalau begitu, ini minumlah air. Kamu pasti haus kan setelah 3 hari tidak minum."

"Tiga hari?" Randika terlihat bingung.

"Iya, kamu tidak sadarkan diri selama 3 hari." Inggrid menjelaskan.

"Lalu siapa yang menolong kita? Lalu di mana kita ini?"

"Itu…."

Ketika Inggrid mau menjelaskan, pintu ruangan kembali dibuka. Sosok Dion yang terlihat lega langsung dapat dilihat.

"Tuan, untung Anda baik-baik saja."

"Dion!"

"Teman-temanmu menemukan kita satu jam setelah kamu pingsan, mereka membawa kita keluar dari tempat itu dan kita menginap di markas mereka."

Mendengar hal ini, Randika merasa bersyukur dan mulai mengingat kejadian di dalam labirin misterius itu. Setelah dia melayangkan serangan demi serangan, sepertinya kekuatan misterius di dalam tubuhnya itu menguasai dirinya dan mematikan fungsi otaknya. Karena Randika sudah terluka parah, tubuhnya tidak bisa mengimbangi dan akhirnya dia pingsan selama 3 hari.

Untungnya saja pasukan yang mengikuti dirinya ke dalam hutan itu sudah memanggil Dion dkk untuk masuk ke dalam labirin dan menyelamatkannya. Sepertinya dewi keberuntungan memihak dirinya setelah rangkaian kesialan sebelumnya.

"Ran, ada yang ingin kusampaikan…"

Karena informasi yang masuk terlalu banyak, Randika tidak mendengar omongan Inggrid tersebut. Dia langsung bertanya. "Indra… Di mana Indra?"

Mendengar hal ini, Dion dan Inggrid saling menatap. Dion lalu keluar dan membiarkan Inggrid yang menceritakannya.

Setelah pintu tertutup, Inggrid mulai bercerita. "Sebelum menemukan kita, teman-temanmu itu menemukan Indra dan sudah memberinya pertolongan pertama. Tetapi kondisinya sangat kritis jadi mereka hanya bisa pasrah. Ketika kita dibawa ke markas ini, makhluk kecil itu sepertinya memberikan Indra beberapa tetes manik-manik. Setelah Indra menelan manik-manik itu, kesehatannya kian membaik dan sekarang dia berada di rumah sakit."

Mendengar hal ini, Randika benar-benar lega. Dia berulang kali menghela napas lega dan sedikit mengeluarkan air matanya.

Setelah itu, Inggrid pergi ke dapur dan hendak membawakan makanan untuk Randika. Randika yang ditinggal sendiri itu merenung sambil berbaring.

Bulan Kegelapan, Anna, Tom….

Sepertinya hidupnya tidak akan tenang selama mereka semua masih hidup. Lalu dalam sekejap, aura membunuhnya merembes keluar dengan luar biasa. Dengan penuh tekad, dia berdiri dan memakai bajunya. Dia siap masuk kembali ke dalam labirin dan membantai mereka semua sekaligus.

Ketika Randika bersiap-siap, Inggrid masuk membawa bubur di atas nampan. Melihat Randika yang siap berperang itu, Inggrid langsung berteriak. "Kamu ngapain? Mau ke mana?"

"Aku akan memastikan bahwa kita bisa hidup dengan tenang, aku akan membunuh mereka."

"Dengan luka seperti itu? Kamu sudah gila?"

"Diam, apa kamu tidak lihat aku melakukannya untuk kita?" Randika mendorong Inggrid sedikit hingga dia berlutut di lantai.

Ketika Randika berjalan menuju pintu, Inggrid mengeluarkan sebuah kalimat. "Aku hamil."

Seketika itu juga, Randika berhenti berjalan dan menoleh ke belakang. Dengan wajah tercengang, dia menatap Inggrid dengan wajah heran. "Apa?"

"Aku hamil Ran, aku tidak ingin anak kita hidup tanpa ayahnya. Coba kamu pikir dengan kepala dingin, apakah kamu yang seperti ini bisa melawan mereka? Randika yang kucintai tidak akan pernah membuat keputusan yang bodoh seperti itu."

Mendengar hal ini, Randika tiba-tiba sadar. Sepertinya amarahnya dan nafsu membunuhnya mengaburkan keputusannya.

Bukan hal bijak untuk bertarung dengan kondisi tubuh seperti ini. Kalau beneran dia adalah Randika yang dikenal sebagai Ares, dia pasti akan mengumpulkan informasi terlebih dahulu dari Dion. Sepertinya dia memang salah.

Tanpa bersuara, Randika menghampiri Inggrid dan menciumnya.

Sambil berurai air mata, Inggrid merasa bahwa suami yang dicintainya telah kembali ke dalam pelukannya.

.....

Setelah berhubungan badan, Inggrid tertidur di lengan Randika.

Setelah mendengar bahwa dia akan menjadi seorang ayah, Randika memikirkan tentang hidupnya.

Bagaimana dia selalu hidup merantau dan waspada seumur hidupnya, bertarung dan membentuk pasukan sehingga menjadi salah satu Dewa dari 12 Dewa Olimpus, hingga pertemuan pertamanya dengan Inggrid ketika dia menjadi tukang mie ayam.

Seluruh kejadian di dalam hidupnya membawa dirinya kepada Inggrid Elina, istri pertamanya yang paling spesial di dalam hatinya.

Memang tujuannya adalah menjadi raja harem apalagi kandidatnya cantik-cantik dan montok. Sebut saja Viona yang sudah memberikan hatinya padanya, lalu ada Christina yang sudah menganggap dirinya sebagai pacarnya, belum lagi Safira yang siap menjadi istrinya juga.

Jika dilihat-lihat, hidupnya penuh warna ketika dia datang kembali ke Indonesia. Tetapi yang paling membuat hidupnya berarti adalah keberadaan Inggrid yang menerima dirinya apa adanya.

Selama ini dia tidak bertanya mengenai asal usulnya maupun mengapa dia memiliki kekuatan yang melebihi manusia. Dia tidak bertanya mengapa ada orang yang menginginkan dirinya untuk mati. Perempuan itu sepertinya menunggu dirinya untuk menceritakannya sendiri ketika waktunya tiba. Oleh karena itu, Inggrid dengan setia menunggu dirinya dan terus mencintai dirinya.

"Hmm? Kamu tidak tidur?" Inggrid memandang wajah Randika yang terlihat serius.

"Maaf, apa aku membangunkanmu?" Randika tersenyum hangat kepada Inggrid.

"Kenapa kamu terlihat serius begitu?" Inggrid bangun dan memakai bajunya.

Dengan kebulatan tekad, Randika berkata padanya. "Aku ingin bercerita tentang siapa diriku yang sebenarnya."

.....

"Maaf aku telah menyembunyikannya darimu. Aku hanya tidak ingin kamu terluka."

Mendengar kisah hidup Randika, Inggrid terdiam beberapa waktu. Lalu dia menghampiri Randika dan memeluknya. "Apa pun masa lalumu, kamu yang sekarang adalah Randika yang aku cintai. Mau seberapa banyak dosa yang telah kamu buat, kamu yang sekarang adalah harapan di dalam hidupku. Mau kamu adalah seorang pembunuh di masa lalu, kamu yang sekarang adalah suamiku dan ayah dari anakku. Jadi kamu tidak perlu menyesal atas perbuatanmu yang dulu, yang terpenting sekarang adalah kita akan menjalani ini semua bersama-sama. Oke?"

Mendengar hal ini dan dipeluk dengan hangat oleh Inggrid, Randika tidak bisa merasa lebih bersyukur lagi di dalam hidupnya ini.

"Inggrid..."

Panggilan Randika membuat Inggrid melepas pelukannya dan menoleh ke arahnya.

"Maukan kamu berjanji padaku?" Tanya Randika.

"Apa itu?" Inggrid menunggunya dengan sabar.

"Bahwa kamu… tidak akan meninggalkanku apa pun yang terjadi." Jawab Randika dengan suara yang tersipu malu.

Bagi Randika yang sekarang, kehadiran Inggrid jelas menjadi pilar yang menyangganya selama ini. Jika Inggrid tidak ada, Randika yakin bahwa dirinya akan kembali ke dalam kehidupannya yang kelam.

Tiba-tiba Inggrid tertawa dan mencium Randika dengan penuh kasih sayang.

"Hei, jangan tertawa! Aku serius." Randika merasa malu.

"Tidak, hanya saja aku merasa lucu ketika seorang Dewa mengatakan seperti itu padaku."

Wajah Randika makin merah padam ketika dia mendengar hal itu.

"Tetapi jika ini bisa memberikan ketenangan pada hatimu, aku berjanji padamu bahwa aku tidak akan meninggalkanmu."

Randika lalu meraih tangan Inggrid dan mengecup punggung tangannya, layaknya seorang ksatria yang membuat sumpah pada seorang putri.

"Aku berjanji untuk hidup bersamamu, dalam senang maupun susah, di waktu sehat maupun sakit. Aku berjanji untuk mencintai dan menghormatimu seumur hidup sampai maut memisahkan kita."

Suara Randika yang jerni bergema di dalam ruangan yang sunyi itu. Ketika Inggrid menutup matanya, dia nyaris merasa bahwa mereka berdua sekarang berada di depan altar dan bertukar sumpah pernikahan.

"Inggrid Elina, bersediakah kamu menjadi istriku?"

Sebagai jawabannya, Inggrid memeluk pria itu erat-erat. "Iya, dengan senang hati."

Keduanya saling berpandangan dan tersenyum lebar.

"Sampai maut memisahkan kita."

"Sampai maut memisahkan kita."

THE END