Legenda Dewa Harem

Chapter 297: Gua Misterius (2)



Di Gunung Batu Jaya, tebing yang ada sangatlah curam dan berbatu. Jadi di celah-celah tebing-tebing ini sering ada pohon yang tumbuh sedangkan bagian dasar gunung hanyalah bebatuan saja.

Sejujurnya ini tidaklah normal, ketika berada di atas gunung, kita bisa melihat hutan yang rindang dan luas.

Di tengah-tengah tebing itu, terdapat dua batu besar yang menonjol keluar. Di belakang batu tersebut terdapat gua yang misterius.

Dari kejauhan, orang tidak akan bisa melihatnya karena batu itu seakan-akan menutupi gua tersebut.

Ketika orang masuk ke dalam gua, yang mereka lihat hanyalah kegelapan. Bahkan kita tidak bisa melihat jari tangan kita sendiri saking gelapnya. Tetapi setelah berjalan masuk sekitar 100 meter, tiba-tiba ada sebuah cahaya yang menerangi kita. Cahaya itu bukanlah matahari melainkan sebuah cahaya berwarna oranye. Jika diperhatikan dengan baik, cahaya itu berasal dari celah-celah dinding gua.

Di bagian tengah area ini, terdapat sebuah kolam yang berdiameter 10 meter. Air di kolam itu sangat jernih dan tenang, sama sekali tidak ada riak. Namun, kita tidak bisa melihat dasar dari kolam tersebut meskipun airnya jernih.

Pada saat yang sama, permukaan air itu mengeluarkan asap putih yang bisa dilihat oleh mata.

Di dalam gua inilah Randika sedang terkapar tidak berdaya dengan baju yang compang camping dan perut yang terkoyak. Belum lagi luka dan memar yang dia terima sebelumnya ketika dia bertarung. Sedangkan luka-luka goresan di tubuhnya, diterimanya ketika menembus pepohonan. Bibirnya yang kering itu sudah mengeluarkan tetesan darah, sedangkan jari tangannya itu bisa dikatakan sangat buruk rupa. Kuku yang retak dan patah menghiasi tangan Randika.

Pada saat yang sama, tidak jauh dari tubuh Randika, Hannah sedang tidur dengan tenang.

.......

Setelah sekian lama waktu berlalu, akhirnya Hannah terbangun dari tidurnya.

Hannah memperhatikan sekelilingnya dan dia tidak tahu dia berada di mana dan jam berapa sekarang. Tiba-tiba dia menyadari kakak iparnya yang sedang terkapar di depannya.

"Kak Randika!"

Dengan cepat Hannah menghampirinya dan memeriksa keadaan Randika. Mata Randika benar-benar merah dan darah di mulutnya terus mengalir.

"Kak, bertahanlah! Aku sudah ada di sini." Hannah lalu menyandarkan tubuh Randika di pahanya.

Di tengah kesadarannya itu, Randika merasa bahwa dunia ini seperti sedang berputar-putar. Ketika dia melihat wajah cemas Hannah, entah kenapa dia bisa melihat dirinya sendiri juga.

Aneh, kenapa dia bisa melihat tubuhnya sendiri?

Randika mulai khawatir, dia hendak mengatakan bahwa dia baik-baik saja pada Hannah tetapi tubuhnya itu sama sekali tidak merespon.

Apakah dia sudah mati?

Hannah yang melihat Randika tidak bergerak itu menangis sejadi-jadinya. Semua kejadian menakutkan ini benar-benar tidak bisa diproses olehnya. Randika selalu menjadi andalannya dan sekarang Randika tergeletak tidak berdaya di pangkuannya.

"Kak, bukalah matamu! Kak, aku takut sendirian di sini… Kak, aku janji tidak akan menjahilimu lagi jadi ayo cepat bangun. Hiks, hiks." Hannah mulai kembali meneteskan air matanya. Usahanya itu percuma, Randika masih tidak sadarkan diri. Randika sendiri hanya bisa melihat wajahnya itu penuh dengan tetesan air mata Hannah, dia sama sekali tidak bisa membuat tubuhnya itu bergerak.

Di gua yang sunyi ini, hanya suara menangis Hannah yang bisa terdengar. Ketika suara tangisan itu makin keras, suara Hannah itu bergema!

Hiks, hiks, hiks.

Hannah yang berlinang air mata itu langsung ketakutan. Dia memperhatikan sekelilingnya dan tidak menemukan apa-apa. Dengan berani dia berkata dengan lantang. "Siapa di sana?"

Siapa di sana…. Siapa di sana….

Namun, bukanlah sebuah jawaban melainkan kata-kata yang sama dengan pertanyaannya lah yang terdengar. Dalam sekejap Hannah mengerti bahwa suara menakutkan itu tadi adalah suaranya dia sendiri.

Melihat Randika yang masih tergeletak lemas di pahanya, Hannah memeluknya.

"Kak, apa yang harus Hannah lakukan?" Melihat masih tidak ada respon, Hannah memutuskan untuk membiarkan kakak iparnya itu beristirahat.

Setelah menidurkannya kembali, Hannah memperhatikan sekelilingnya. Meskipun ada cahaya yang keluar dari celah-celah dinding, sebagian besar dari gua ini sangatlah gelap. Hannah sedikit takut tetapi dia harus menghadapi situasi ini dengan lapang dada.

Setelah waktu yang lama, akhirnya Hannah bisa tenang kembali. Pada saat ini, dia merasa haus.

Hari ini dia dan kedua kakaknya itu mendaki gunung bersama. Sesampainya di puncak, Hannah tidak sempat minum karena sibuk mengambil foto pemandangan. Setelah itu dia menyaksikan pertarungan kakak iparnya itu dan terjatuh dari tebing. Dia tidak tahu sudah berapa lama dia tidak meminum air, tenggorokannya sekarang benar-benar kering.

Pada saat yang sama, Hannah merasa perutnya mulai lapar. Karena saking semangatnya ingin naik gunung, Hannah bangun lebih pagi dan hanya makan sebuah roti sebelum berangkat. Dan sekarang roti itu telah lenyap dan perutnya meminta makanan lebih.

Memperhatikan sekelilingnya, Hannah tidak bisa menemukan apa-apa selain kolam yang ada di tengah-tengah gua ini.

Ketika dirinya mendekati kolam itu, Hannah menyadari ada sekumpulan ikan putih kecil yang berenang-renang di permukaan air. Ikan ini sangat kecil, mungkin hanya sebesar ibu jarinya.

Hannah baru pertama kalinya melihat ikan seperti itu, dia menjadi penasaran. Dia mengulurkan tangannya dan berusaha menangkap ikan tersebut. Namun ketika tangannya menyentuh air, Hannah langsung menariknya kembali.

"DINGIN!"

Setelah dilihat-lihat, ternyata ada asap putih yang keluar dari permukaan air. Kenapa bisa air di dalam kolam ini begitu dingin?

Memang cuaca di gunung itu bisa berubah-ubah, tetapi seharusnya ini musim kemarau dan pagi tadi benar-benar cerah dan hangat. Bahkan gua ini berada di tengah-tengah gunung, seharusnya tempat ini tidak sedingin ini.

Tetapi air sedingin ini tidak berpengaruh pada ikan-ikan putih itu, mereka berenang-renang dengan bahagia. Pada saat yang sama, beberapa ikan melompat ke udara dan kembali berenang.

Hannah menelan air ludahnya, dia lalu tersadar bahwa dia sedang kehausan. Tanpa ragu, dia kembali mencelupkan kedua tangannya dan mengambil sejumlah air di tangannya. Dia lalu meminumnya sekaligus.

Meskipun tangannya itu seakan-akan ingin membeku, dia tidak punya pilihan lain karena dia tidak mungkin memasukan kepalanya ke kolam dingin itu.

Gluk, gluk.

Air dingin itu segera membasahi tenggorokan yang kering itu. Dalam sekejap tubuh Hannah merinding terus menerus, air yang masuk itu benar-benar terlalu dingin.

Hannah merasa bahwa hari ini merupakan hari terburuk selama dia hidup. Sebagai anak dari keluarga Laibahas, seumur hidupnya dia hidup serba berkecukupan. Dia tidak pernah merasa sengsara seperti ini.

Setelah menenangkan diri, dia mengusap kembali air matanya yang entah kenapa jatuh itu. Dia sekarang tidak boleh bertindak lemah kayak seorang gadis.

Hannah lalu mengambil kembali air dingin itu dengan tangannya dan menghampiri Randika.

"Kak, minumlah air ini."