Legenda Dewa Harem

Chapter 170: Petunjuk



Deviana cukup terkejut melihat Randika, dia tidak menyangka temannya ini akan muncul di depannya.

"Bukannya kamu di Jakarta?" Deviana masih mengingat beberapa hari yang lalu Randika meminta bantuan darinya. Tanpa diduga ternyata dia sudah ada di sini. Karena masalahnya menyangkut orang terpenting di kota ini, Inggrid Elina, Deviana berpikir bahwa masalah yang dihadapi Randika akan memakan waktu berminggu-minggu.

"Iya aku baru saja kembali." Kata Randika sambil tersenyum. "Jangan khawatir dengan masalahku itu, semua sudah beres. Omong-omong kenapa kamu ada di sini? Menangkap pencuri lagi?"

Mendengar masalah Randika sudah selesai, Deviana ikut merasa lega. Mendengar sarkasme Randika mengenai menangkap pencuri, Deviana mengerutkan dahinya. "Maksudmu?"

Randika menggelengkan kepalanya. "Kalau bukan nangkap penjahat, jangan-jangan kamu mau menangkap hatiku?"

"Aku sedang mengerjakan tugas." Deviana mendengus dingin. "Tugasku bukan cuma menangkap penjahat asalkan kamu tahu. Hari ini aku menangani kasus orang hilang, aku ke sini untuk mengumpulkan informasi."

Orang hilang?

Randika mengedipkan matanya. "Apa orang hilang itu bernama Christina?"

"Kamu kok tahu?" Deviana mengerutkan dahinya sambil menatap Randika. Lalu dia bertanya dengan wajah serius. "Apa kamu penculiknya?"

"Mana mungkin aku berbuat hal memalukan seperti itu." Kata Randika sambil menghela napas. "Orang hilang itu adalah temanku, ibunya juga meminta bantuanku. Jadi bisa dikatakan aku sedang membantumu."

"Apakah kamu sudah mengetahui sesuatu?" Tanya Deviana.

"Sama sekali belum." Randika mulai kembali pusing. "Aku hanya bisa memastikan bahwa Christina mulai menghilang setelah dia meninggalkan rumah muridnya. Mengenai di mana dia menghilang atau siapa yang menculiknya aku benar-benar tidak tahu."

Deviana kembali mengerutkan dahinya, kasus ini sepertinya akan memakan waktu banyak.

"Misalnya kalau kantormu punya akses untuk kamera di daerah ini, seharusnya kita bisa mendapatkan petunjuk." Kata Randika.

Deviana menggelengkan kepalanya. "Sayangnya kamera di daerah ini sedang rusak, apalagi di daerah ini hanya ada kamera lalu lintas. Dan semua kamera itu masih dalam tahap uji coba jadi kita tidak bisa berharap banyak."

Mendengar kata-katanya Randika menghela napas, satu-satunya harapan telah hilang. Apakah tidak ada jejak Christina sama sekali?

"Kalau begitu aku akan kembali ke kantor dan menyelidiki ini bersama tim investigasi." Kata Deviana.

Randika mengangguk, itulah satu-satunya cara paling logis.

Ketika mereka berdua hendak pergi, tiba-tiba ada suara ribut dari seberang jalan.

Deviana menoleh dan melihat beberapa orang sedang berdebat hebat. Dilihat dari situasinya, keadaan akan makin buruk. Beberapa orang sudah terlihat mengeluarkan botol kaca di tangannya, sepertinya tidak lama lagi mereka semua akan berkelahi. Para pejalan kaki sudah ketakutan dan menghindari mereka semua.

"Berkelahi di siang bolong?" Deviana mengerutkan dahinya dan menghampiri mereka.

Randika mengikutinya. Dia aslinya tidak peduli dengan apa yang dilakukan orang-orang ini, di benaknya sekarang hanyalah kasus hilangnya Christina. Tetapi, satu-satunya harapan baginya adalah bantuan dari Deviana, jadi mau tidak mau dia harus mengikutinya dan memastikan dia baik-baik saja.

"Sedang apa kalian semua!" Deviana segera berdiri di tengah-tengah keributan. Dia membentak, "Jika kalian berani berbuat bar-bar, aku akan membawa kalian semua ke kantor polisi."

"Wah ada hidangan pembuka."

Preman di sebelah kiri menatap Deviana dengan mata jahatnya. "Kau mau membawaku? Silahkan saja aku tidak takut sama sekali."

Para preman di sebelah kiri langsung tertawa semua, bos para preman itu berkata pada preman lawannya itu. "Kalian sungguh beruntung ada polisi yang membantu kalian, lain kali nasib kalian tidak akan seberuntung ini!"

Bos preman di sebelah kanan merasa terhina. Dia lalu menatap polisi yang tiba itu dan berkata dengan nada dingin. "Kau lebih baik pergi dari sini, jangan mengganggu urusan kami."

Deviana benar-benar marah, dia lalu berteriak dengan suara yang keras. "Tidak ada satupun yang akan berkelahi hari ini! Satu pukulan saja maka kalian semua akan menginap di penjara."

Preman yang di sebelah kiri sudah mulai mengayunkan tongkat dan botol kaca di tangan mereka. Mereka lalu menatap tubuh sexy Deviana. "Kau bersemangat sekali bu polisi, aku yakin kamu juga cukup bersemangat di atas ranjang!"

"Rio, kita selesaikan dulu masalah kita. Setelah itu, siapapun yang menang bisa membawa gadis itu sebagai pialanya." Bos preman di sebelah kanan, Wilson, berkata pada Rio dengan nada dingin.

"Cecunguk diam saja, kau tidak berhak mengaturku." Mata Rio masih berusaha menelanjangi Deviana, dia tidak sabar mencicipi tubuh itu.

Pada saat ini Deviana masih berada di tengah-tengah kerumunan orang ini, dia dikepung lebih dari 20 orang.

Namun, pada saat ini tatapan semua orang jatuh pada Randika yang berjalan menghampiri mereka.

"Oh? Datang lagi satu orang?" Rio tertawa.

Para preman yang darahnya sudah mendidih mulai tidak sabar. "Sudah kita sarankan kalian berdua minggir atau jangan salahkan kalau kalian terlibat masalah kita!"

Para pejalan kaki sedikit heran dengan Deviana yang berusaha melerai para preman itu.

"Kenapa tidak biarkan mereka saling bantai? Toh mereka juga preman, sampah masyarakat." Kata salah satu orang pada temannya.

"Jangan-jangan mereka berdua ngira kalau mereka jadi polisi maka semua orang akan mendengar mereka." Kata temannya sambil tertawa.

Keadaan Deviana dan Randika benar-benar buruk di mata orang-orang ini. Mereka cuma berdua sedangkan para preman itu berjumlah 20an.

"Kedua polisi itu akan mati."

Salah seorang pejalan kaki sudah siap menelepon ambulans. Namun, situasi berjalan di luar dugaan semua orang!

Randika benar-benar sudah dibuat pusing dengan kasus Christina, suasana hatinya sedang tidak bagus. Pada saat ini, para preman ini sudah sok kuat dan sudah ingin tawuran.

"Masih tidak mau pergi? Kuhajar kau!" Para preman sudah tidak sabar lagi, kubu Rio dan Wilson segera mengepung Randika dan Deviana.

Deviana sudah bersiaga. Ketika dia ingin memperingati Randika agar berhati-hati, dia sudah melihat Randika menerjang maju bagaikan singa mengejar mangsanya.

Randika yang sekarang benar-benar buas, kumpulan para preman ini bagaikan karung pasir yang dibuat khusus untuknya.

Ketika tinjunya mengenai salah satu orang, tinju satunya sudah melayang dan mengenai dagu orang lainnya. Dalam sekejap 4 gigi sudah melayang di udara! Pada saat yang sama, kubu Wilson sudah meraung keras dan menerjang maju.

Para preman ini sudah tidak peduli, bagi mereka semuanya adalah musuh.

Ketika salah satu dari mereka sudah mendekat, dia dengan cepat mendapatkan tinju di wajahnya. Tinju Randika benar-benar bukan sembarangan, preman tersebut langsung melayang jauh dan menabrak temannya.

Tidak lama kemudian, Randika sudah berhasil menghajar hampir seluruh preman dari kubu Wilson. Wilson sendiri sudah terheran-heran. Kenapa seorang polisi bisa seganas ini? Namun pada saat ini, Randika sudah tiba di depannya dan menendangnya tepat di dadanya. Dalam sekejap suara rintihan kesakitan terdengar keras dari mulut Wilson.

Randika lalu menatap kubu Rio dengan tatapan tajam, tatapannya ini membuat semuanya merinding.

Dan saat ini Randika sudah menerjang maju.

"Siapapun hentikan orang itu!" Rio sudah ketakutan, para bawahannya satu per satu mulai tumbang.

Namun tidak butuh waktu lama untuk Randika berdiri di depan Rio.

"Tidak! Jangan wajahku, jangan wajahku!" Rio hampir mengompol. Randika lalu memukul Rio tepat di hidung dan Rio tersungkur di tanah.

Pada saat ini, Randika sama sekali tidak berhenti dan sudah berlari untuk membereskan sisa-sisa preman yang masih berdiri. Di mana pun dia berada, seseorang akan tergeletak.

Seluruh proses ini tidak lebih dari 2 menit. Apabila diperhatikan, sepanjang jalan sudah ada 20 orang lebih tergeletak di tanah sedang kesakitan.

Semua pejalan kaki sudah menatap dengan wajah bingung, orang itu ahli bela diri?

Melihat para preman yang merintih kesakitan, Randika mengibaskan tangannya. Kalau saja tidak ada orang-orang ini, Deviana mungkin sudah berada di kantornya.

Randika lalu kembali memikirkan Christina sedangkan Deviana mengeluarkan borgolnya. "Kalian semua akan kubawa ke kantor polisi."

Deviana mengerutkan dahinya, bagaimana caranya dia seorang diri membawa semua penjahat ini?

"Maafkan kami, kami tahu kalau kami salah. Kami tidak akan mengulanginya lagi, tolong lepaskan kami." Rio dengan cepat memohon ampun sambil berlumuran darah. Wajahnya benar-benar menyedihkan. Bahkan air matanya ikut turun sambil terus meminta ampun.

Para preman lainnya juga tidak kalah menyedihkan, mereka semua berlutut dan meminta ampun.

"Omong kosong, sekarang kalian semua cepat berdiri dan berbaris!" Deviana tidak akan luluh dengan aksi tobat para preman ini, dia tahu bahwa ini hanyalah sandiwara.

Randika yang masih sedang berpikir itu menatap para preman tersebut. Di salah satu orang, dia melihat sebuah kalung yang nampak familiar.

Kenapa dia merasa pernah melihatnya?

Sambil mengerutkan dahinya, Randika menghampiri Rio. Melihat Randika yang mendekat, wajahnya makin ketakutan. "Tolong jangan pukul aku lagi, aku akan menurutimu dan ikut ke kantor polisi."

Namun, Randika memaksanya berdiri dan mengambil kalung di lehernya itu. Melihat aksi Randika yang kasar itu, Rio sama sekali tidak berani melawan.

Setelah memeriksa dengan seksama kalung tersebut, wajah Randika semakin muram. Jelas itu adalah kalung milik Christina, dia sering melihatnya memakai kalung emas ini.

"Kalian semua cepat pergi dari sini." Kata Randika dengan suara tegas. Para preman ini tidak ragu-ragu menerima pengampunan ini dan lari. Sedangkan Deviana sedikit terkejut mendengarnya dan hanya bisa menggelengkan kepalanya. Dia lalu menghampiri Randika yang sedang menginjak Rio dengan kakinya. "Dari mana kau mendapatkan kalung ini?"

Rio terkejut, dia tidak menyangka cuma dirinya yang tidak diperbolehkan pergi. Matanya sudah ketakutan ketika dirinya diinjak oleh Randika. Rasa sakit segera menyerang sarafnya.

"Jika kau tidak berbicara jujur, mayatmu hari ini akan mengapung di sungai." Kata Randika dengan wajah serius.

"Ampun, ampun. Aku akan memberitahumu segalanya." Rio sudah diambang menangis. Dia sangat ingin hidup dan memberikan cucu pada orang tuanya.