Legenda Dewa Harem

Chapter 132: Persiapan



Lelaki itu benar-benar bersemangat setelah berhasil menarik perhatian dua orang kaya itu. Dia tanpa henti menjelaskan dan bercerita tentang kelebihan tokonya.

"Di tempatku ini, kualitas bajunya yang terbaik daripada toko-toko lainnya."

Hannah menatap Randika sambil tersenyum dan melihat ekspresi Randika tetap datar. Hannah akhirnya tidak bisa terdiam terus dan bertanya. "Harga dari baju ini berapa?"

"Hahaha tidak mahal. Satu buahnya 100 ribu." Mata lelaki itu mulai berputar.

"Murah sekali!" Hannah tersenyum lebar. Ketika dia ingin membelinya, Randika dengan cepat bertindak.

"100 ribu? Itu sedikit mahal. Han, lebih baik kita melihat-lihat toko yang lain dulu."

Setelah itu, Randika membawa pergi Hannah dari tempat itu.

"Ah!" Penjaga toko itu menjadi panik. "Baiklah, untuk kalian hari ini harganya menjadi 90! Bukan 80 ribu!"

Mendengar teriakan orang itu, Randika tetap berjalan tanpa menoleh. Setelah berjalan cukup jauh, dia menyadari wajah Hannah yang terlihat bingung dan polos itu.

Setelah menghela napas, Randika mengatakan. "Han, aturan berbisnis yang paling sederhana yang perlu kau ingat adalah membeli dengan harga semurah mungkin dan menjualnya semahal mungkin untuk mendapatkan keuntungan besar. Jika kau tadi membeli tanpa menawar, bagaimana mungkin kau bisa mendapatkan keuntungan yang tinggi?"

"Oh!" Hannah dengan cepat mengangguk. "Baiklah, aku sudah mengingatnya!"

"Terlebih, kalau kamu tidak mengerti harga pasar berapa, lebih baik kita memeriksa beberapa toko. Kita perlu membandingkan harga sekaligus kualitas yang diberikan, tapi ingat juga kalau beberapa style baju memiliki harga yang berbeda."

Hannah terus-terusan mengangguk seperti ayam yang sedang mematok tanah. Tatapan matanya terlihat kagum. "Kak Randika memang luar biasa!"

"Tentu saja, kakak iparmu ini memang yang terbaik!" Randika menjadi besar kepala.

"Kalau begitu… apa yang harus kita lakukan sekarang?" Tanya Hannah sambil tersenyum.

Randika mengatakan. "Tentu saja kita harus memeriksa beberapa toko dan membandingkan harganya nanti. Setelah menemukan tempat yang cocok, baru kita akan memborong dari mereka."

"Baik!" Hannah dengan antusias menjawab.

"Kalau begitu, lebih baik kita berpencar." Randika lalu menunjuk ke arah sebelah kanan. "Kamu periksa arah sana dan aku akan ke situ. Setelah 30 menit kita akan bertemu di tempat kita sekarang."

Sungguh jarang Randika mau membantu orang tanpa pamrih, mungkin baginya ini adalah pertama kali dia melakukannya. Bagaimanapun juga, Hannah adalah adik dari istrinya jadi mungkin Hannah sudah dia anggap keluarganya.

Di lain sisi, Hannah menuruti saran Randika dan mulai menjelajahi toko-toko. Sambil memperhatikan style baju serta harga, Hannah mulai mengerti harga pasarannya. Dia benar-benar merasa bodoh ketika dia senang mendengar kata 100 ribu saat pertama kali dia datang. Harga toko-toko lain benar-benar jauh di bawahnya, hampir mencapai angka 50-60 ribu.

Dalam hatinya dia semakin kagum pada kakak iparnya itu.

Setelah keluar masuk beberapa toko, akhirnya Hannah sudah memiliki pemikiran bagaimana mana nanti dia akan menjualnya. Namun, pada saat ini muncul lelaki gendut yang menghampirinya.

"Hai cantik, sedang lihat-lihat baju?"

Hannah menoleh dan menemukan bahwa pria gendut dengan wajah berkeringat itu sedang berusaha menggodanya.

Tanpa menjawab, Hannah hanya mengangguk.

"Kalau begitu mau aku antar?" Pria gendut ini langsung menjadi bersemangat. "Aku sudah bertahun-tahun bekerja di tempat ini, aku tahu selak beluk tempat ini dan aku punya selera baju yang bagus."

"Tidak usah terima kasih." Hannah dengan sopan menolak.

Pria gendut itu tidak mau menyerah, melihat sosok Hannah yang menjauh dia segera menyusulnya. "Sudah santai saja, aku akan mengenalkanmu ke toko-toko yang bagus dan murah secara gratis! Jadi baju seperti apa yang kamu inginkan?"

Hannah hanya mengerutkan dahinya, pria ini benar-benar menyebalkan.

Namun, sekarang pria gendut itu mencegat laju Hannah sambil tersenyum. "Sayang, kalau kau tidak menjelaskan bagaimana bisa aku membantumu?"

"Aku sudah bilang kalau aku tidak butuh bantuanmu." Kata Hannah dengan nada dingin.

"Hahaha ternyata kau malu-malu kucing, aku suka itu." Pria gendut itu tertawa. Dia masih mengekori Hannah dari belakang.

"Hari ini aku akan menemanimu belanja." Pria gendut itu tersenyum. "Kau benar-benar beruntung."

Hannah sudah tidak peduli, dia hanya berjalan sambil mencuekinya. Tetapi, pria gendut itu tetap mengekorinya. Dan ketika dia mau menyentuh pundak Hannah, Hannah dengan cepat menampar tangannya itu.

"Kau sudah gila apa?" Hannah menjadi marah, kok ada orang tidak tahu diri seperti ini?

"Kenapa kau tiba-tiba marah sayang?" Pria gendut itu terlihat bingung sambil mengerutkan dahinya.

"Jangan mengikutiku terus!" Kata Hannah dengan nada marah.

Pria gendut itu justru tersenyum. "Aku mengikutimu merupakan anugerah bagimu."

Bersamaan dengan itu, pria gendut ini berusaha menggandeng tangan Hannah. Untungnya Hannah bereaksi dengan cepat dan membuat jarak dengan pria itu.

Ketika pria gendut itu berusaha menghampirinya lagi, Hannah menyadari bahwa orang-orang di sekitarnya benar-benar tutup mata terhadap situasinya. Seolah-olah mereka telah menjadi orang buta.

Ada peribahasa yang mengatakan 'Terpegang di abu dingin' [1]. Jadi, orang-orang tidak ingin terlibat dengan mereka. Apalagi mereka tahu latar belakang dari pria gendut itu.

"Jika kau berani mengikutiku lagi, jangan salahkan aku kalau bertindak kasar." Kata Hannah sambil memasang kuda-kuda bertarungnya yang dia pelajari di klub karate.

"Oh, ternyata selain cantik kau cukup liar juga." Wajah pria gendut itu terlihat semakin bengis. "Aku penasaran bagaimana liarnya kamu di tempat tidur. Aku akan membuatmu tidak akan pernah melupakan diriku."

Pada saat ini, pria gendut itu merasa pundaknya dipegang seseorang. Setelah dia menoleh, sebuah tinju sudah melayang dan mendarat di wajahnya.

DUAK!

Tinju itu mendarat di mata pria gendut ini dengan sempurna. Dia lalu merasa pusing sambil berjalan mundur beberapa langkah.

"Kakak!" Hannah tersenyum gembira ketika melihat sosok Randika. Dengan cepat dia bersembunyi di belakang punggung Randika.

Randika lalu menatap pria gendut itu dengan tatapan jijik. Berani menyentuh adik iparnya? Nyari mati apa? Aku sendiri saja belum pernah merasakannya secara langsung. Ah! Maksudku… dia adalah adik iparnya yang berharga!

Terlebih, pria ini jelek dan gendut. Kalau jelek saja mungkin masih tidak apa-apa orang ini sudah jelek, tidak tahu diri, bahkan menguntit orang.

Akhirnya pria gendut ini sudah mulai kembali sadar. Tetapi rasa sakit di matanya masih belum hilang, sambil memegangi matanya itu dia menatap Randika. "Siapa kamu?"

Randika tidak menjawab, pria gendut itu lalu melihat Hannah bersembunyi di belakangnya. "Ah, kau pacarnya?"

"Berani-beraninya kau memukulku! Kau tahu siapa aku di tempat ini?" Bentak pria gendut itu.

"Aku tidak tahu, coba kau bantu aku." Kata Randika dengan santai.

"Aku dijuluki si Gajah Penghancur! Tidak ada orang yang berani menyinggungku di tempat ini, jika kau macam-macam maka aku pastikan tidak ada toko yang akan melayanimu!" Kata pria gendut itu.

Gajah?

Randika dan Hannah tertawa bersama, julukannya itu benar-benar cocok melihat betapa gendutnya orang itu.

"Tertawain apa kalian?" Melihat kedua orang itu tertawa, pria gendut itu semakin marah.

"Bukan apa-apa, julukanmu itu bagus kok." Randika justru makin tertawa keras.

Melihat pria gendut itu yang marah-marah sendiri tidak jelas, Randika bergerak dengan cepat dan menekan titik akupunturnya. Tiba-tiba pria gendut ini merasa suaranya tidak bisa keluar sama sekali.

Apa yang sedang terjadi?

Pria gendut ini menjadi panik dan menatap Randika dengan perasaan ngeri.

"Jika kau macam-macam denganku, kakimu selanjutnya yang tidak bisa bergerak." Kata Randika dengan santai sambil membawa Hannah pergi.

Melihat sosok Randika yang pergi, pria gendut ini tidak tahu harus berbuat apa. Dia lalu memutuskan untuk pergi ke rumah sakit.

"Kak, untung kakak datang." Hannah tersenyum sambil memeluk tangan kakak iparnya itu. "Laki itu benar-benar menjijikan."

"Aku tidak bisa menyalahkannya, kecantikanmu itu memang tidak ada duanya. Aku sendiri harus menahan diri supaya tidak sama seperti dia." Kata Randika sambil tersenyum.

Mendengar pujian kakaknya itu, entah kenapa Hannah merasa malu.

"Jadi bagaimana? Sudah tahu apa yang akan kamu borong?" Randika lalu kembali ke bisnis.

Mereka berdua lalu berdiskusi dan menukar harga dan pendapat.

"Baiklah." Setelah selesai berdiskusi, Hannah dengan cepat mengambil keputusan. Dia lalu pergi ke toko tempat yang telah mereka diskusikan.

Randika terus mengikuti Hannah. Hari ini dia akan menjadi mentor dari Hannah, sedangkan masalah mencari uang nantinya, itu bukan hal yang harus diperhatikan. Yang dia perlu ajarkan adalah perencanaan serta eksekusi yang benar, setelah itu uang akan datang dengan sendirinya.

Tapi, kekhawatiran Randika mungkin sedikit berlebihan. Hannah merupakan orang yang ahli dalam berbisnis dan tawar-menawar, hal ini sedikit mengejutkan Randika.

Setelah setengah jam berkeliling, Hannah sudah membeli puluhan baju yang populer di kalangan anak muda dengan harga yang sangat murah.

Ketika Hannah mencari-cari baju di toko lain, Randika mencegatnya. "Han, mungkin ini sudah cukup. Kita coba dulu seberapa dalam airnya baru setelah itu kita bisa memikirkan bagaimana ke depannya."

Hannah mengangguk setuju, dia lalu mengatakan. "Kalau begitu, kita ke sekolahku!"

Kemudian mereka dengan cepat masuk ke dalam mobil.

Randika tidak lupa membeli hanger dan rak untuk menggantung baju-baju ini. Setelah selesai, mereka langsung menuju Universitas Cendrawasih.

"Han, apakah ruanganmu itu sudah siap?" Tanya Randika.

"Ada kakak kelasku yang masih menempati ruangan itu. Dia seharusnya keluar hari ini, sebentar akan kutelepon dia sekarang untuk memastikan."

Tak lama kemudian, teleponnya itu diangkat.

"Halo kak Amel? Ini aku Hannah, apa kakak sudah beres-beres tokonya kakak? Kalau begitu….." Hannah mengeluarkan kemampuan negosiasinya.

Tak lama kemudian Hannah menutup teleponnya dan mengangguk pada Randika.

Sepuluh menit kemudian akhirnya mereka sampai di sekolahnya. Hannah dengan cepat turun untuk bertemu dengan Amel terlebih dahulu untuk serah terima ruangan.

"Oke kak, semua sudah beres." Ketika Hannah kembali ke mobil, napasnya sudah terengah-engah. Namun, tatapan matanya terlihat bersemangat. Dia lalu mengeluarkan baju-baju serta barang-barang lainnya ke ruangan yang akan menjadi toko kecilnya itu.

Ketika Randika membantunya menyiapkan toko ini, dia melihat sosok yang familiar.

Dia melihat sosok Christina tidak jauh dari tokonya itu. Hari ini perempuan itu terlihat cantik dengan rok ketat merahnya itu.

"Han, aku keluar sebentar ya." Kata Randika.

"Baiklah." Hannah dengan cepat setuju.

[1] Mencampuri sesuatu (urusan) yang menyusahkan atau mencelakakan diri sendiri.