Legenda Dewa Harem

Chapter 124: Pembalasan



Randika dan yang lain segera berjalan kembali menuju hotel mereka sambil tetap mengobrol dengan meriah.

Namun, tiba-tiba beberapa petugas polisi mencegat mereka.

"Itu mereka!"

Ketika Randika mendengar dan melihat para petugas ini, dia menyadari bahwa Slamet tidak jauh dari posisi mereka. Slamet menatap mereka dengan dingin.

"Kalian semua harap mengikuti kami ke kantor."

Para polisi ini benar-benar tidak mengenal kata tidak. Tanpa menunggu jawaban dari Randika dkk, mereka segera menghampiri dengan borgol di tangan mereka.

Randika hanya menatap dingin selama kejadian ini. Tangannya lalu bergerak dengan cepat, tanpa bisa diikuti oleh pergerakan mata orang awam. Polisi yang hendak menangkap Randika tiba-tiba menyadari bahwa tangannya telah terborgol!

"Kau berani menyerang seorang polisi?!" Polisi ini menjadi murka. Ketiga polisi lainnya meninggalkan para perempuan dan mengepung Randika dengan wajah marah.

"Aku sarankan kalian untuk tidak berbuat macam-macam." Kata Randika dengan santai.

"Kalian juga tidak berhak menangkap kami!" Beberapa perempuan juga mulai marah. "Tidak peduli kalian polisi, maksudnya apa tiba-tiba menangkap dan mau membawa kami?"

"Iya! Kami sama sekali tidak melanggar hukum apa pun, buat apa kalian tiba-tiba menangkap kami?"

"Kalian hanya perlu diam dan ikut kami ke kantor." Para polisi ini tetap bersikukuh ingin membawa Randika dkk bersama mereka.

Randika lalu meminta teman-temannya itu untuk diam dan menyerahkan semua masalah ini pada dirinya. Dia lalu berkata dengan santai. "Sayangnya, tangan kotor kalian tidak bisa menyentuhku."

"Oh? Kalau begitu tangan kotormu yang telah mengobrak-abrik usaha orang justru lebih bersih dari kita begitu?" Kata salah satu polisi dengan nada dingin.

"Oh? Jadi begitu?" Randika lalu menatap dingin Slamet, yang tidak jauh dari posisi mereka, dan tersenyum. Ketika Slamet melihat senyuman itu, dia tidak bisa menahan tubuhnya untuk tidak merinding.

"Kalau begitu kenapa kalian tidak menanyakan padaku kenapa aku mengobrak-abrik tempat itu?" Kata Randika dengan santai.

"Tidak ada penjelasan yang cukup baik untuk menjelaskan kenapa penjahat sepertimu menghancurkan usaha orang." Salah satu polisi mendengus dingin. "Ceritakan semua dosamu itu di kantor!"

"Eh? Bukankah kalian polisi? Bukankah kalian harusnya melihat semuanya dengan baik?" Seorang perempuan dari kelompok Randika ini tiba-tiba maju ke depan sambil marah-marah. "Tempat itu adalah tempat pemerasan! Mereka memberikan kita harga yang tidak masuk akal dan mengancam membunuh kita kalau tidak mau bayar. Sudah untung temanku ini mau bertindak agar orang-orang tidak bernasib sama seperti kita."

Randika lalu memotong perempuan itu dan berkata dengan nada dingin. "Para preman itu pantas mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika kau ingin menangkap kami, tangkap mereka dulu."

Para polisi itu menatap satu sama lain beberapa saat. Akhirnya, salah satu dari mereka mengatakan. "Kita akan mengurus hal itu nanti. Sekarang, kalian semua perlu ikut kami ke kantor polisi. Tindakan kalian tadi telah melanggar hukum."

Randika menggelengkan kepalanya. "Memangnya kalian dibayar berapa sampai bisa keras kepala seperti ini?"

"Coba ulangi apa yang kau katakan barusan!" Salah satu polisi menjadi marah ketika mendengarnya.

"Kenapa? Sekarang kau jadi tuli?" Randika merasa jijik dengan polisi korup seperti ini. "Sudah jelas bahwa kalian berempat dibayar oleh orang itu. Jadi aku akan bertanya pada kalian. Apakah kalian masih ingin menerima uang itu ataukah kalian ingin pulang dengan keadaan selamat?"

Para polisi yang sudah ketahuan ini langsung membentak. "Omong kosong! Jika kalian tidak ikut dengan kami, status kalian akan menjadi buronan."

"Ancaman seperti itu tidak berguna untukku." Kata Randika dengan wajah serius. "Aku tidak masalah menjadi buronan. Tetapi, kalian berempat akan tergeletak tidak berdaya di rumah sakit selama beberapa bulan dan mendekam di penjara setelahnya."

"Sudah cukup berbicaranya, tangkap dia!" Kata salah satu polisi sambil mengeluarkan borgolnya.

Keempat polisi ini menerjang Randika. Sosok Randika hanya terlihat bergerak sedikit. Tiba-tiba, borgol keempat polisi ini sudah terlempar cukup jauh dari posisi mereka.

Randika lalu bertanya dengan santai pada mereka. "Segini aja kemampuan kalian?"

Terdapat rasa takut di tatapan mata para polisi ini. Mereka benar-benar tidak bisa melihat kapan dan dengan cara apa borgol mereka diambil dan dilempar dengan mudah.

Slamet, yang tidak jauh, menghela napas dalam-dalam ketika melihat aksi Randika. Jauh di dalam hatinya dia merasa bahwa dirinya telah salah mengajak geger orang.

"Hajar saja dia!" Beberapa perempuan mulai menyoraki Randika. "Mereka para polisi korup yang tidak layak memakai seragam itu! Bisa-bisanya dia menerima uang suap dan tidak menangkap para preman tadi!"

Inggrid mengerutkan dahinya, meskipun dia ingin sekali mengubur para polisi itu tetapi dia mengerti inti permasalahannya apa. Jika Randika benar-benar menghajar para polisi itu, tuduhan mereka akan berubah menjadi pemukulan terhadap polisi. Hal ini benar-benar tidak bagus buat mereka.

Randika masih berdiri diam di hadapan para polisi itu. Para polisi itu menatap Randika dengan tatapan waspada, bagaikan mereka menatap teroris. Orang ini sepertinya bukan orang biasa.

"Aku akan memberikan kalian kesempatan." Kata Randika dengan muka serius. "Pergi sebelum aku marah."

"Kau pikir kau ini siapa?" Salah satu polisi yang sudah menaklukan rasa takutnya itu menjadi marah. Mengeluarkan pistolnya, dia membidik Randika. Sesaat itu juga, hembusan angin kuat berhembus dari arah Randika. Dia sudah memancarkan tenaga dalamnya yang kuat itu dan bergerak dengan cepat.

"Sekarang kalian semua akan ikut dengan kami! Kalau tidak, jangan salahkan aku menembak kalian karena tidak menuruti kata-kata seorang penegak hukum!" Kata polisi itu dengan nada dingin.

"Kamu yakin?" Randika kemudian mengangkat tangan kanannya.

Polisi itu terkejut ketika melihatnya. Dia melihat apa yang ada di tangan Randika dan memeriksa pistolnya. Pistolnya tidak ada pelurunya! Dia menatap Randika dengan wajah terkejut, bagaimana caranya pria itu melakukannya?

Randika lalu melempar peluru yang ada di tangannya ke kaki para polisi itu sambil tersenyum. "Kesempatan terakhir, pergi dan jangan ganggu kita."

Para polisi itu merinding ketika melihat senyuman Randika.

Melihat tidak ada tanggapan, Randika lalu bergerak dengan cepat. Yang dirasakan para polisi ini hanyalah hembusan angin yang kuat. Sesaat setelah itu, mereka hanya merasakan rasa sakit yang luar biasa di perut mereka.

Mereka hanya merasakan kesadaran mereka perlahan-lahan menghilang dan jatuh di tanah secara serentak.

"Malam ini kalian akan tidur di luar." Kata Randika yang sudah berdiri di belakang mereka. Sekarang, tatapan matanya jatuh pada Slamet yang masih menatap takut pada Randika.

Melihat tatapan mata Randika, Slamet hanya bisa melangkah mundur sambil gemetaran.

Melihat Slamet yang terus menerus mundur, Randika membentaknya dan menyuruhnya berhenti.

"Kita bertemu lagi, sungguh kebetulan." Kata Randika dengan santai.

"Jangan khawatir, setelah ini kita tidak akan pernah bertemu lagi. Percayalah padaku." Slamet sudah bermandikan keringat dingin.

"Tentu saja aku percaya pada temanku." Randika tersenyum lebar. Namun bagi Slamet, kenapa senyum itu seperti mengandung sesuatu yang menakutkan?

"Sebelumnya aku sudah ngomong bukan bahwa aku akan menemuimu jika butuh uang?" Randika menghampirinya sambil terus tersenyum. "Sekarang karena kita sudah bertemu, bagaimana kita berbicara tentang bisnis? Karena kau menyinggung perasaanku dan menghabiskan energiku menangani para suruhanmu itu, setelah kuhitung-hitung mungkin totalnya 150 juta."

"Ah! Aku tidak punya uang sebanyak itu." Slamet menelan air ludahnya.

"Sayang sekali, setelah semua hal ini terjadi aku sedang tidak ingin memberi diskon. Kalau begitu, kau ingin tangan atau kakimu yang aku patahkan?" Kata Randika dengan santai.

Mendengar hal ini, Slamet benar-benar ketakutan setengah mati. Nasibnya benar-benar sial, dia tidak menyangka bahwa dia akan bertemu setan seperti orang ini.

"Maksudku, aku akan mencarinya! Aku mohon kakak menunggu uangnya!" Kata Slamet dengan cepat.